Archive | June, 2010

Mencoba si Fireblade

13 Jun

Fireblade

Masih inget si Ilham kan ? riding buddy saya waktu ke Palembang kemaren ? nahh tu anak nongol lagi ke Semarang tapi kali ini dia nggak naik Tigernya tapi pake Honda CBR 1000 RR Fireblade, yes ! a superbike. Seumur umur baru liat superbike di depan saya, jujur dimensinya gak beda jauh sama Kawasaki Ninja 250, padahal kapasitasnya 1000cc inline, bener sungguh ramping ntu motor, sempet saya ledekin si Ilham “Ham, tiger modif lu rapi bener. hahhahaahahhaahha”

Ilham menawarkan saya untuk mencoba motornya, woww mantaff…saya excited banget tapi saya akan mencobanya di hari minggu pagi dimana lalu lintas nggak begitu padat. Saya gak mau sembarangan bawa ni motor karena saya bener2 awam dan belum pernah mengendarai superbike. Ulasan ini saya nggak akan bicara teknis spesifikasi si Fireblade, tetapi akan lebih ke first impression saya mengendarai superbike 1000cc

Hari minggu pagi tiba, jam 6.15 saya udah tiba di hotel tempat Ilham nginep, sampe kamar si empunya masih molor terpaksa dibangunkan paksa utk ngambil kunci dan STNK hihihihihihhi…..balik ke basement si Fireblade udah nunggu dengan manisnya. Pake helm dan glove, hati saya makin berdebar. This is it ! my first time on superbike ! bisa ato gak nih? kalo kagok kan tengsin di jalan. Saya naikin si Fireblade, sidestand dinaikkan lalu saya agak goyang ke kiri kanan untuk menakar bobotnya…hmmmm…nggak terlalu berat, mirip2 Tiger fullbox + tank bag yg fully load. Setelah membiasakan dengan ukuran dan bobot saya mempelajari tombol2 di setang kiri kanan, layoutnya g jauh beda dengan tiger, cuma di setang kiri ada tombol lampu hazard. Setelah memahami layout tombol saya memutar kontak dan lampu otomatis hidup. Panel intrumen hidup, RPM menggunakan analog dan data lainnya digital, ada temperatur mesin, tripmeter dll….dan ternyata gak ada meteran bensin sodara sodara…..ahahahahhahhaa…..petunjuk bensin ditandai lampu merah di kiri bawah yang akan menyala apabila bensin ada di posisi reserve. Kontak dihidupkan, tanda check engine berupa kode “FI” idup beberapa detik (motor ini menggunakan PGM-FI/injeksi) lalu tombol start ditekan. Mesin menggelegar, muffler Akrapovic mengaum sangar hehehehhehe…..setelah menunggu suhu mesin sampe 70 derajat maka saya pelan2 menjalankan motor keluar.

Cluster Instrumen

Akrapovic Carbon Muffler

USD Showa & Tokico caliper

Ohlins Shock

Nebeng ahh...hihihihi....

Rute pemanasan dan pengenalan handling motor saya pilih melalui Pandanaran-Tugu muda-Gajahmungkur-Sultan Agung-Taman Diponegoro-Gajah Mungkur-Tugu muda-Siliwangi-Kalibanteng-Pasadena (rumah). Sungguh, bener2 kagok pertama mengendarai superbike, bukan soal ukuran dan berat tetapi cara membelokkna setang, kemudi seakan akan tidak mau dibelokkan, sekilas saya teringat teori counter steering, stelah dicoba diterapkan benar, motor nurut berbelok. Jadi ketika akan berbelok/miring ke kiri maka tangan kiri justru mendorong handle ke depan dan motor otomatis belok/rebah. Bener2 teori counter steering berlaku disini secara harfiah. Beda sekali dengan motor kecil. Kecepatan saya jaga 70-80 km/j selama pengenalan handling di dalam kota. Menjelang jalan ke rumah di Pasadena ketemu macet. Ampun ampun dah pake superbike dengan kondisi stop and go, kopling keras, berat badan bertumpu ke pergelangan tangan dan panas mesin mencapai 104 derajat. Hawa panas membakar paha bawah, dan pantat. “mateng2 dah biji gua” batin saya. Sampai rumah peregangan lagi dan poto2.

Begini suaranya Acrapovic Carbon Hexagonal Mufflernya, karena saya nggak sempet ngrekam, ini saya carikan di youtube

Heheheh sangar kan? kebayang dong gimana suaranya pas lari 180km/j?

15 menit peregangan saya bersiap ke sesi test ride yang sesungguhnya dengan rute Kalibanteng-Arteri-Jalan raya Semarang-Demak. Memasuki arteri semarang dengan jalan bumpy, saya jalankan motor dengan kecepatan 80-100 km/j. Redaman goncangan teredam sempurna oleh suspensi Up Side Down Showa dan Ohlins di belakang, dua2nya fully adjustable dan pada posisi medium depan belakang. Ibarat naik mobil eropa redamannya dan sangat stabil. Memasuki jembatan arteri yang halus dan lurus saya mencoba membetot gas. Selongsong gas yang sangat ringan diputar diiringi akselerasi spontan, badan terbetot ke belakang seketika, G Force beraksi memainkan perannya. Beberapa detik kemudian sampai gigi tiga dengan kecapatan 150 km/j jalan sudah habis, jantung berdegup kencang dan mengatur nafas saya mengarahkan hidung motor ke arah Terboyo.

Nebeng ama bini sebelum ngegas

Di jalan raya Semarang-Demak yang lurus dan mulus terhampar di depan saya, lalu lintas belum terlalu ramai. Segera saya buka gas dan di suatu ruas jalan yang lurus dan sepi tercapai kecepatan 185 km/j. Sumpah, pemandangan di kiri kanan saya langsung kabur saking cepatnya, badan merunduk dan helm saya dekatkan ke windshield. Sungguh sensasi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Adrenalin rush langsung menyeruak. Jalan mulai padat dan saya mencoba utk overtaking dengan zig zag, teori counter steering berlaku lagi. Dengan mendorong setang ke kiri dan kanan maka motor dengan mulusnya ngikutin ke arah berlawanan untuk menyalip bis, mobil, motor dengan mulusnya. Torsi terasa rata dan gak ada habisnya seiring dengan putaran selongsong gas yang ringan. Kecepatan rata2 di jalan itu berkisar 100-120 km/j konstan dengan temperatur mesin ideal 70-80 derajat celcius. Sesampainya di Demak saya arahkan ke Masjid Demak untuk beristirahat.

Peregangan lagi, posisi merunduk membuat pegal bahu dan pergelangan tangan. Posisi dengkul mengapit tengki utk mengendalikan badan motor. Setelah 30 menit istirahat, saya bersiap kembali ke Semarang. Dengan menempuh jalan yang sama dan lalu lintas yang lebih padat saya menjalankan motor dengan lebih santai. Berkali kali saya memainkan akselerasi yang mantab di kisaran gigi 2-3 kecepatan 100 km/j sungguh nyaman sekali ni motor. Karena jalan makin ramai kecepatan hanya tercapai 140 km/j. Sempat lari 120 km/j tiba2 saya dikagetkan penyebrang jalan yang mendadak saya melakukan hard braking, handle rem depan yang sangat lembut dan pakem mampus cuma saya tarik dengan dua jari telunjuk dan tengah, motor langsung deselerasi secara ekstrem tanpa ada gejala goyang sama sekali, anteb. Saya sempat terlalu keras menginjak rem belekang dan roda belakang sempet terkunci beberapa detik. Citt…cit…citt…beberapa detik roda belakang terkunci tetapi tidak ada gejala bodi belakang ngebuang sama sekali. Tetep lempeng.

Masuk kota Semarang yang padat, mulai suhu mesin naik ke 90-101 derajat celcius, hawa panas dari mesin karena hembusan electric fan dan panas underseat muffler kerasa banget. Paha bawah kerasa terbakar begitu juga pantat. Di traffic light jalan Pemuda setelah lampu hijau saya geber motor sampai pak polisinya bengong hihihihi..*maap pak, panas niy* Melewati jalan Thamrin dan belok ke Pandanaran lalu masuk ke basement hotel. Dengan jantung yang masih berdegup saya pencet tombol engine cut off dan mesin pun mati. Melepas helem dan lepas glove, menghela napas. Sesi test ride pun usai, dengan meninggalkan paha dan pantat yang kepanasan. Thanks banget Ham, bener2 sensasi riding yang beda buat saya.

*diketik dengan jari2 yang masih gemetar*